Oleh : Alhafidz Ramadhan, S.Mat
Kondisi kehidupan sosial bermasyarakat terkadang tidaklah statis atau tetap, tetapi selalu dinamis atau berubah-ubah. Sehingga gesekan sering saja terjadi baik di sadari ataupun tidak disadari. Pikiran buruk atau perasangka yang negatif kepada sesama acapkali menjadi penyebab bagi seseorang yang terjerumus kepada perbuatan yang tidak dibenarkan dalam agama. Didalam surah Al-Isra pangkal ayat 36 dijelaskan, “ Dan janganlah engkau menurut saja dalam hal yang tidak ada bagi engkau pengetahuan padanya”. Ayat ini termasuk sendi budi pekerti Muslim yang hendak menegakkan pribadinya. Kita dilarang Allah menurut saja. “Nurut “ menurut bahasa jawa, dengan tidak menyelidiki sebab dan musabab.
Qatadah menafsirkan kelemahan pribadi Pak Turut itu demikian:”Jangan engkau katakan aku lihat, padahal engkau tak melihatnya. Aku dengar, padahal tak pernah engkau dengar. Saya tahu, padahal engkau tak tahu.” Sedangkan kalau kita lihat kembali di ujung ayat ditegaskan:”Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya.” Terang disini bahwa yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek moyangnya karena kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta’ashshub pada golongan membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubung sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau fikiran untuk menimbang buruk dan baik. Sedang pendengaran dan penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari kita dengan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudharat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya.
Dalam hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan dan hati bagi menimbang. Sebab kadang-kadang dipercampur adukkan orang amalan yang sunnah dengan yang bid,ah. Bahkan kerapkali kejadian perkara sunnah tertimbun dan yang bid’ah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu. Memang, orang yang masih belum banyak peralatan tentu akan menurut saja kepada yang lebih pandai. Tetapi sekedar pokok-pokok dalam agama mestilah dipelajari dan ditanyakan kepada yang lebih pandai. “Bertanyalah kepada orang yang ahli peringatan, kalau kamu tidak mengtahui.” (Qs. An-Nahl :43)
Pada momentum di hari kemenangan ini, mari kita belajar dan terus memperbaiki kualitas keimanan kita sehingga kita kembali suci dan dijauhkan dari sifat berburuk sangka tersebut. Berdasar pada pemaparan diatas jelas bahwa perilaku berburuk sangka tentu pada akhirnya akan membuat suatu perpecahan antar sesama. Kerena hanya menerima tanpa menyelidiki terlebih dahulu. Sehingga turunan dari itu semua akan terjerumus kepada sifat sombong yang sangat dibenci oleh Allah SWT. “Dan janganlah engkau berjalan di atas bumi dalam keadaan sombong”. ( Qs. Al-Isra: 37)
Marahan kita artikan sombong, yaitu orang yang tak tahu dimana letak dirinya. Bersifat angkuh, karena dia telah lupa bahwa hidup manusia di dunia ini hanyalah semata-mata kerana pinjaman Tuhan. Lupa bahwa asalnya hanya dari setetes air manih. Yang kelak dia mati dia akan kembali masuk tanah dan kembali jadi tanah, tinggal tulang-tulang yang berserak, dan menakutkan. Seperti kiasan orang sumatera” sesungguhnya engkau sekali-kali tiada akan dapat membelah bumi. ” maksudnya adalah bagaimanapun seseorang yang rantak tonjak diatas bumi, menghardik, menghantam tanah, namun tiadalah akan luak atau luka karena hantaman kakinya.
Ini merupakan suatu ungkapan untuk orang yang semobong. Dia laksana menengadah ke langit laksana menantang puncak gunung dan melawan awan; padahal puncak gunung itu akan melihat lucunya si kecil menantang dia, laksana senyumnya seorang manusia melihat seekor semut kecil mengangahkan mulutnya hendak mematuk kakinya. Padahal ditekan saja sedikit dengan ujung kuku, diapun hancur lumat. Oleh sebab itu, Mu’min sejati adalah seorang yang tahu diri. Lalu diletakkannya diri itu pada tempat yang sebenarnya. Itulah yang disebut dalam kata arab tawadhu atau rendah hati. Sehingga sifat sombong atau perilaku tercela yang menunjukkan bahwa orang yang berperangai demikian belum dapat dimasukkan dalam hitungan orang yang beriman.